Ad Code

Responsive Advertisement

Nonton Bola Kok Dilarang?


Tulisan ini dimulai ketika Persija Jakarta pada 2006 harus kehilangan rumah yang selama hampir puluhan tahun menjadi tempat berteduh. Kala itu Stadion Menteng harus tergerus oleh alat-alat berat dengan kebijakan dari Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, Sutiyoso yang notabene adalah juga pembina Persija. Stadion keramat itu kemudian dialihfungsikan menjadi sebuah taman, yang secara fungsional menurut penulis masih kurang pemanfaatannya.
Iya, bisa dibilang sejak saat itu Persija yang di belakang namanya ada kata Jakarta harus merasakan getirnya menjadi musafir kala menjalani laga home-nya.
Pergantian orang nomor satu di ibu kota, dari Sutiyoso ke Fauzi Bowo, tidak serta merta dapat membantu permasalahan “musafir” tim Macan Kemayoran, bahkan di periode musim 2008-2009, Persija harus menjalani partai kandang selama sebulan di kota Malang, Jawa Timur.
Dari tahun ke tahun, dari gubernur ke gubernur, hingga saat ini di bawah kepemimpinan Joko Widodo yang belum genap setahun memimpin kota ini, persoalan tersbut hingga saat ini masih belum ada solusinya. Hingga musim 2011-2012, Persija masih harus seperti “kucing beranak” yang melakukan prosesi kelahirannya di mana-mana, atau bahkan tidak bisa menggelar lagahome tanpa dihadiri oleh The Jakmania, suporter setianya.
Sudah menjadi hal yang wajar, ketika sebuah nama kota mengikuti dari nama sebuah tim, peran pemerintah daerah, serta bersama pihak kepolisian daerah dapat bersinergi mendukung tim daerahnya masing-masing, dan hal ini terjadi di seluruh daerah Indonesia, tetapi kenapa kemudian sulit sekali terjadi di Jakarta?
Banyak alasan yang mengemuka di saat Persija harus rela menggelar pertandingan home di luar Jakarta, mulai dari alasan kerusuhan karena sepakbola yang pernah terjadi di Jakarta, bentrok dengan acara lain, hingga ketika pesta demokrasi baik itu tingkat nasional maupun daerah, membuat Persija harus mengungsi ke luar Jakarta.
Berbicara kerusuhan, jangankan pertandingan sepakbola, tawuran antar gang, antar pelajar hingga pemilukada, bahkan orang-orang elit yang menjadi wakil rakyat pun tidak jarang sering menimbulkan kerusuhan, baik dalam skala kecil maupun besar. Memang harus diakui, suka tidak suka Jakarta beda dengan kota-kota lain di Indonesia, sebagai ibu kota semua persoalan yang ada menjadi lebih sensitif, tidak terkecuali masalah keamanan.
Menjadi sebuah pertanyaan besar untuk kami suporter Persija, ketika hendak mengajukan izin keamanan dan keramaian kala akan menggelar pertandingan kandang di Jakarta, korps berbaju cokelat tersebut justru berbalik meminta jaminan dari para suporter, lalu apa tugas pihak keamanan? Terlepas dari hal kerusuhan yang pernah terjadi, serta antisipasi dari pihak keamanan untuk ke depannya, apakah kami harus menjadi pribadi yang kemudian tertutup, bukan tidak mungkin menjadi pendiam dan pemurung karena tidak bisa menyalurkan kreativitas kami di stadion?
Bagi kami segelintir suporter Persija, sepersekian persen dari yang ada di kota ini, kami yang memiliki kebanggaan atas tim sepakbola tempat kami tinggal, menonton dan memberikan dukungan langsung untuk Persija menjadi satu-satunya hiburan bagi kami di tengah kompleksitas dan aktivitas di kota yang sudah sangat menumpuk di pundak kami.
Kami warga DKI Jakarta, memiliki KTP berlambang Monas, beraktivitas juga di kota ini, apakah kami tidak memiliki hak untuk menonton sepakbola di Jakarta, khususnya pertandingan Persija?
Nonton bola kok dilarang…?
Reactions